Menghafal dan Mengamalkan Al-Quran, Mana Lebih Dulu?

September 12, 2020 § Leave a comment

Seorang kawan bertanya kepada saya, “Bagaimana pendapatmu mendapati fenomena seorang penghafal Al-Quran yang berperilaku buruk?”. Kemudian ia mengatakan,” Esensi dari Al-Quran adalah diamalkan dan hafalan tidaklah menjadi sebuah hal yang esensial.”

Ironis memang, seorang penghafal Al-Quran tetapi mempunyai perilaku yang buruk. Saya pun pernah mendengar seorang penghafal Al-Quran yang ia pernah melakukan zina, di lain waktu teman bercerita bahwa kawannya yang seorang penghafal Al-Quran kecanduan narkoba!. Saya tercenung. Bagaimana mungkin seseorang yang telah menghafal Al-Quran, namun melanggar perbuatan yang orang awam pun tahu bahwa hal itu haram. Terlepas dari fitrah manusia yang memang bersifat khilaf dan salah.

Dalam suatu artikel yang saya baca, seseorang bertanya kepada salah satu syaikh, bagaimana pendapatnya tentang orang yang telah menghafal Al-Quran tetapi berperilaku buruk? “Hafalan Al-Quran seseorang tidaklah menjadi ukuran iman di dalam hatinya”. Jleb..Jleb..

Menjadi sebuah hal yang cukup berat memang, bagi seorang penghafal Al-Quran, karena, ia lebih mempunyai tanggung jawab yang besar dari orang yang belum mempunyai hafalan. Tanggung jawab atas hafalannya yang mengapa tak dipraktikkan dan akhlaq kepada orang-orang yang mengenal dan melihatnya.

Merujuk kepada nabi Muhammad SAW dan para sahabat, tidak semua dari mereka telah menghafal Al-Quran. Mereka lebih dituntut untuk mengamalkan Al-Quran dalam keseharian mereka. Sayyid Quthb dalam bukunya, Petunjuk Jalan, mengatakan bahwa salah satu hikmah diturunkannya Al-Quran secara berangsur-angsur dikarenakan Al-Quran sebagai firman Allah yang harus diamalkan terlebih dahulu. Umar bin Khottob R.A pun menghafal surat Al-Baqoroh selama 12 tahun sedangkan anak beliau, Abdullah bin Umar menghafalkan surat yang sama selama 8 tahun.

Imam Hasan Al-Bashri pun mengatakan bahwa tidak banyak dari para sahabat yang menghafal Al-Quran secara keseluruhan. Hal ini menandakan, tuntutan utama dari seorang muslim adalah mengamalkan AlQuran untuk kemudian konsisten dalam menjaganya dan lebih lanjut lagi meningkatkannya.

Iman sebelum adab, adab sebelum ilmu, dan ilmu sebelum amal agaknya menjadi pakem wajib bagi para sahabat dulu. Hal ini bukan berarti saya menafikan para ulama dan sahabat para penghafal AlQuran. Namun, menurut hemat saya, dalam konteks Indonesia yang secara kultur masih banyak diperlukan perbaikan adab dan juga bahasa yang notabene adalah nonarab, menjadi penghafal AlQuran dalam usia muda tidaklah menjadi prioritas. Yang ingin saya garisbawahi di sini adalah menghafal AlQuran 30 Juz. Konsekuensi turunannya sangatlah banyak. Berat.

Yang ingin saya rekomendasikan adalah setidaknya seorang muslim sebelum berusia 18 tahun telah menghafal AlQuran setidaknya 5 juz dengan kualitas hafalan mutqin disertai dengan pemahaman Islam yang mendalam, kemampuan komunikasi lisan dan tulisan untuk penyebaran nilai dan pemikiran Islam, serta kemampuan mantiq yang kuat untuk menghadapi serangan pemikiran. Ia juga tidak lupa untuk membangun keahliannya dalam suatu bidang. Semisal ekonomi, teknologi, ataupun kesehatan.

Di atas itu semua, kedisiplinan dalam beribadah, utamanya qiyaamullail dan wirid harian menjadi senjata utama yang wajib diperkuat setiap hari. Kembali, iman sebelum adab, ada sebelum ilmu, dan ilmu sebelum amal.

Allaahummarhamnaa bilquraan…

Where Am I?

You are currently viewing the archives for September, 2020 at Ghulam Robbani's Thought.