Film Ainun-Habibie: Kritik, Hikmah, dan Sebuah Optimisme Pembangunan

May 30, 2013 § 3 Comments

Baiklah, film ini memang overall luar biasa bagus, bagaimana kisah percintaan seorang laki bernama Habibie yang menunjukkan kesetiaan dan kasih saying kepada istrinya, Ainun. Begitu pula sebaliknya, Ainun, sang istri sampai rela mengorbankan kesehatannya bagi tugas suami yang begitu menyita waktu. Ia menyembunyikan penyakitnya karena khawatir akan mengganggu pikiran suaminya. Pengorbanan yang dilakukannya berakibat fatal, kanker ovarium yang dideritanya sudah kadung parah dan menjalar. Pengobatan dari dokter dan teknologi terbaik dari Jerman belum mampu menjawab harapan sang suami, Habibie yang jenius itu.

Film ini juga cukup mengundang decak kagum, bagi saya pribadi, terutama pemeran Habibe, Reza Rahardian, yang berusaha semirip mungkin kental dengan karakter Habibie. Lucu dan luar biasa sekali meskipun bagi Pak Habibie pribadi, masih mengritik karakternya dalam film yang dikatakan, “Itu masih kikuk dan kaku”. Kalau sudah Pak Habibie yang berkomentar, apa mau dikata, toh beliau adalah sosok aslinya. 🙂

Banyak sekali nilai-nilai yang bisa diambil bagi anak muda dalam film itu guna menjalani bahtera pernikahan. Sebagai sosok manusia yang jenius, yang biasanya jenius itu identik dengn kaku, tidak bisa bergaul, dan egois, Habibie menampilkan sosok jenius yang berbeda, ia tampil apa adanya dengan karakternya, disenangi banyak orang, dan mengedepankan kepentingan bangsa, pun dengan sang istri, Ainun.

Akan tetapi, ada hal-hal pula yang patut dikritisi dalam film itu, sebagai seorang muslim, setidaknya ada 3 hal yang bagi saya tak perlu dilakukan seorang Habibie jenius yang dalam film itu, karakternya sarat dengan nilai keagamaan.

1. Pacaran dalam Islam

Pacaran, yang menjadi fenomena anak muda zaman sekarang, ditampilkan sebagai suatu kebiasaan anak muda, yang, fine-fine saja selama tidak berujung kepada seks bebas. Dalam film, ditunjukkan bagaimana Habibie berdansa, berpegangan tangan, dan berciuman tanpa “beban”. Padahal, ya, saya yakin, Pak Habibie sesungguhnya mengetahui bahwa Islam tidak mengajarkan hal tersebut. Artinya, Habibie melanggar ajaran yang dia anut. Agak aneh bagi seorang jenius Pak Habibie dalam kehidupan sebenarnya.

Karena, konsep pacaran dalam Islam, ya, setelah menikah. Barulah halal, hal-hal semacam berpegangan tangan, berduaan di ruang tertutup, dan segala jenis hubungan.

2. Masalah Adat

Saya tahu, Indonesia sebagai suatu negara dengan berbagai budaya dengan cita rasa tinggi begitu sayang jika tidak di-explore. Berbicara kesenian dan adat Indonesia, akan ada banyak pro dan kontra jika dikaitkan dengan nilai aqidah, akhlaq, dan antipornografi.

Di sinilah, sebagai seorang muslim yang harus yakin dengan kebenaran ajaran Islam, harus mengedepankan keyakinan untuk meninggalkan segala adat yang bertentangan dengan nilai Islam yang tentunya bersumber dari Al-Quran.

Dalam film Ainun-Habibie, sang mempelai pria melakukan lempar kertas (dilenting seperti rokok) yang sangat kental dengan kesyirikan. Kepercayaan bahwa hal tersebut akan mendatangkan keberkahan dan kelanggengan adalah suatu hal yang absurd! Mengingat, muslim mempunyai Allah SWT sebagai maha pemberi rezeki, maha kaya, dan maha-maha yang lainnya! yang tidak dimiliki zat apapun, apalagi hanya seonggok kertas!

Inilah nilai yang sangat patut dikritisi oleh para pasangan yang akan menikah. Adat boleh, tetapi jika melawan ajaran Islam, tinggalkan!

3. Hijab

Sangat disayangkan, Ibu Ainun sebagai sosok muslimah cerdas dan berbudi pekerti tinggi menanggalkan hijabnya. Sekali lagi, sangat disayangkan. Sebagai public figure dan lagi sebagai seorang muslimah, hal ini menjadi catatan besar bagi saya pribadi yang memang mengagumi kedua tokoh ini. Pak Habibie dan Ibu Ainun.

Romantisme dan keteladanan sebagai suami istri, pengertian, saling memahami, pengorbanan, komunikasi yang efektif, bertenggang rasa adalah nilai-nilai positif yang patut ditiru dan dicontoh oleh pasangan muda di manapun dalam membangun mahligai rumah tangga. Hal ini menjadi “wajib” hukumnya guna menjadi pasangan ideal bagi sesama dan membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rohmah dalam kerangka kasih sayang dan kemuliaan ajaran Islam.

Di awal film, kesabaran Ibu Ainun yang tidak mendewakan materi sebagai tujuan berkeluarga, kesederhanaan dan mau sama-sama hidup susah adalah hal yang sulit ditemukan dalam tujuan berkeluarga di dunia dan Indonesia pada khususnya.

Bagi saya, puncak dari film ini, manakala penyakit Ibu Ainun terungkap dan sudah parah, kanker ovarium stadium 4. Terlihat sekali kecintaan Pak Habibie kepada Ibu Ainun yang begitu membara, sampai-sampai harus mengorbankan ketahanan tubuh Ibu Ainun hingga operasi ke-9.

Patut menjadi perhatian, keyakinan Pak Habibie yang terlalu mengandalkan teknologi dan keahlian dokter. Dalam film, tak pernah terlihat ketika Pak Habibie memanjatkan doa bagi kesembuhan Ibu Ainun. Saya tak tahu, apakah dalam realitanya, fakta ini benar adanya. Karena, di atas kecanggihan teknologi pengobatan saat ini dan keahlian para dokter, masih ada yang lebih berkuasa atas kesembuhan seorang anak adam. Allah SWT yang menguasai jagat raya dan menghidupkan serta mematikan makhluknya.

Sebagai penutup, walaupun scene ini berada di tengah-tengah film, sakit hatinya Pak Habibie yang jenius ini karena “diketekin” politikus dan penguasa tamak lagi korup menjadi tragedi besar bagi bangsa Indonesia. Padahal, dengan visi dan cita-cita besar yang luar biasa, yang direaliasikan dengan dibentuknya IPTN dan banyaknya putra-putra bangsa yang telah bersekolah di luar negeri dan mau kembali untuk membangun Indonesia, sayangnya, mereka tidak dihargai!. Lagi-lagi politikus dan penguasa korup berulah dan membendung kedigdayaan Indonesia.

Akhir kata, kepada para generasi muda dan pemimpin masa depan, camkanlah pentingnya orientasi dan visi akhirat dalam membangun peradaban manusia. Viva Islam dan Indonesia!

 

Where Am I?

You are currently viewing the archives for May, 2013 at Ghulam Robbani's Thought.